“Berikan kami Al Qur’an, bukan cokelat!”
“Al Qur’an! Al Qur’an! Bukan cokelat! Bukan
Cokelat!” kata anak perempuan setengah berteriak ke beberapa teman lain yang
sedang mengurus pengungsi.
Dua Pasang Mata di Tengah Salju: Al
Qur’an Bukan Cokelat!
(Banyak yang sebenarnya harus
saya catat ketika bekerja menemani anak-anak di berbagai daerah dan negara.
Namun,cerita yang satu ini amat berkesan. Menohok konsep diri.)
Anak-anak hebat tidak selamanya
lahir dari fasilitas yang serba lengkap, bahkan sebagian dari mereka
disembulkan dari kehidupan sulit yang berderak-derak. Mereka tumbuh dan
berkembang dari kekurangan.
Pada sebuah musim dingin yang
menggigit, di sebuah pedalaman, di belahan timur Eropa, kisah ini bermula.
Kejadian menakjubkan, setidaknya bagi saya.
Salju bagai permadani putih dingin
menyelimuti pedalaman yang telah kusut masai dirobek perang yang tak kunjung
usai. Dentuman bom dan letupan senjata meraung-raung dimana-mana. Sesekali,
terdengar ibu dan anak menjerit dan kemudian hilang.
Di tenda kami, puluhan anak duduk
memojok dalam keadaan teramat takut. Sepi. Takada percakapan. Takada
jeritan. Hanya desah pasrah merayap dari mulut mereka terutama ketika terdengar
letupan atau ledakan.
Di luar, selimut putih beku telah
menutup hampir semua jengkal tanah. Satu-dua pohon perdu masih keras kepala
mendongak, menyeruak. Beberapa di antara kami terlihat masih berlari ke
sana-kemari. Memangku anak atau membopong anak-anak yang terjebak perang dan
musim dingin yang menggigit tulang.
Tiba-tiba dari kejauhan, saya
melihat dua titik hitam kecil. Lambat laun, terus bergerak menuju tenda kami.
Teman di samping yang berkebangsaan Mesir mengambil teropong.
“Allahu Akbar!” teriaknya meloncat
sambil melemparkan teropong sekenanya.
Saya juga meloncat dan ikut berlari
menyusul dua titik hitam kecil itu. Seperti dua rusa yang dikejar Singa Kalahari,
kami berlari.
Dari jarak beberapa meter, dapat
kami pastikan bahwa dua titik hitam kecil itu adalah sepasang anak. Anak
perempuan lebih besar dan tinggi dari anak lelaki. Anak perempuan yang manis
khas Eropa Timur itu terlihat amat lelah. Matanya redup. Sementara, anak lelaki
berusaha terus tegar.
“Cokelat …,” sodor teman saya
setelah mereka sampai di tenda penampungan kami.
Anak yang lebih besar dengan mata
tajamnya menatap teman saya yang menyodorkan sebungkus cokelat tadi.
Teman saya merasa mendapat perhatian
maka dia semakin semangat menyodorkan cokelat. Diangsurnya tiga bungkus cokelat
ke kepalan tangan anak yang kecil (yang ternyata adalah adiknya).
Sang Kakak dengan cepat dan
mengejutkan kami mengibaskan tangannya menolak dua bungkus cokelat yang
diberikan. Teman saya yang berkebangsaan Mesir itu terkesiap.
“Berikan kami Al Qur’an, bukan
cokelat!” katanya hampir setengah berteriak.
Kalimatnya yang singkat dan tegas
seperti suara tiang pancang dihantam berkali-kali.
Belum seluruhnya nyawa kami
berkumpul, sang Kakak melanjutkan ucapannya,
“Kami membutuhkan bantuan abadi dari
Allah! Kami ingin membaca Al Qur’an. Tapi, ndak ada satu pun Al Qur’an.”
Saya tercekat apalagi teman saya
yang dari Mesir. Kakinya seperti terbenam begitu dalam dan berat di rumput
salju. Kami bergeming.
Dua titik hitam yang amat luar biasa
meneruskan perjalanannya menuju tenda pengungsi. Mereka berusaha tegap
berjalan.
“Al Qur’an! Al Qur’an! Bukan
cokelat! Bukan Cokelat!” kata anak perempuan setengah berteriak ke beberapa
teman lain yang sedang mengurus pengungsi.
Saya dan teman Mesir yang juga
adalah kandidat doktor ilmu tafsir Al Qur’an Universitas Al Azhar Kairo itu
kaku.
[Takakan pernah terlupakan
kejadian di sekitar Mostar ini. Meski musim dingin dan dalam dentuman senjata
pembunuh yang tak terkendali, angsa-angsa terus berenang di sebuah danau
berteratai yang luar biasa indahnya. Beberapa anak menangis dipangkuan. Darah
menetes. Beberapa anak-anak bertanya, dimana ayah dan ibu mereka. (Saya ingin
melupakan tahunnya.)
diambil dari
http://jilbab.or.id/archives/945-berikan-kami-al-quran-bukan-cokelat/
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMENTARNYA!!!!
TERIMA KASIH
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMENTARNYA!!!!
TERIMA KASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar